INFOMALL.ID | Jakarta – Fenomena Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) tengah ramai di mall-mall kota besar di Indonesia saat ini. Istilah “Rojali dan Rohana” muncul menjadi gambaran kondisi kecenderungan prilaku konsumen pasca-pandemi. Banyak pengunjung yang datang ke mall bukan untuk membeli, melainkan untuk pengalaman sosial, hiburan, atau sekadar keluar rumah dan melihat-lihat berbagai barang di mall.
Penyebab utama disinyalir akibat melemahnya daya beli masyarakat, efek domino dari inflasi, tekanan ekonomi, dan hutang membuat banyak orang enggan membeli barang-barang di kategori non-pokok.
Perubahan pola konsumsi pasca-pandemi turut menyumbang kondisi ini, banyak orang lebih memilih window shopping di mall dan kemudian membeli secara daring di e-commerce karena harga lebih murah atau adanya promo gratis ongkir.
Psikolog juga ikut membenarkan, mereka menyebut kunjungan ke mall kadang untuk memenuhi kebutuhan sosial, rekreasi, atau healing bukan sekadar belanja. Dampak fenomena ini bagi pengusaha dan tenant tentu turunnya omzet secara signifikan karena jumlah pengunjung tak sebanding dengan transaksi nyata.
Sebagian besar para pengusaha ritel menerapkan strategi tambahan seperti diskon menarik, bundling dan event promo untuk mendorong peningkatan pembelian. Di sisi lain, tenant makanan dan minuman tetap stabil bahkan tumbuh karena pengunjung sering nongkrong atau jajan ringan.
Pengelola Mall kini harus melihat pengunjung sebagai peluang untuk socializing dan entertainment, bukan hanya tempat belanja. APPBI dan asosiasi ikut bersuara meminta pemerintah untuk melakukan promosi untuk memulihkan daya beli lebih cepat.
Beberapa Pandangan Ahli Ekonomi & Sosial
- Bhima Yudhistira (CELIOS) melihat tren ini sebagai tanda perubahan pola konsumsi kelas menengah pasca‑pandemi: lebih banyak yang datang untuk hiburan, bukan belanja. (Kami mengutip dari iNews).
- Shinta W. Kamdani (APINDO) menyebut fenomena ini bukanlah krisis besar, tapi mencerminkan penurunan permintaan di pasar ritel. kalau pun pengunjung hanya “cuci mata”, tetap lebih baik daripada mal sepi berjam-jam. (Kami mengutip dari Merdeka.com)
- Ajib Hamdani (APINDO) memandang ini sebagai tanda pola konsumsi berubah: konsumen tetap membelanjakan uang pada kebutuhan tersier atau hiburan meski menahan konsumsi pokok (konsep Lipstick Index). (Kami mengutip dari Liputan6).
Strategi Respons Yang Diharapkan Bisa Menjadi Solusi
Bagi Tenant:
- Menawarkan pengalaman unik: demo produk, pop‑up store, diskon kilat.
- Integrasi belanja offline dengan kanal online—misalnya, scan dan beli secara daring.
Bagi Pengelola Mall:
- Menyediakan event komunitas, live performance, area nongkrong nyaman.
- Promosi dan diskon bersama tenant untuk menarik pembelian.
Untuk Pemerintah & Ekonomi:
- Stimulus untuk rekondisi daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah.
- Program dukungan UMKM agar produk lokal lebih menarik pengunjung secara harga dan kualitas.
Efeknya memang menjadi tantangan berat bagi sektor retail akhir-akhir ini, namun membuka peluang baru bagi F&B, hiburan, dan branding kreatif tenant serta pengelola mall. Dengan strategi inovatif para pengusaha ritel dan dukungan kebijakan pemerintah, tren ini bisa jadi pemicu transformasi ekonomi ritel ke pola yang lebih adaptif./*odt.






